Kamis, 20 Februari 2014

laporan praktikum biokimia gizi protein dalam urine



BIOKIMIA


Penentuan Protein Dalam Urine Secara Kualitatif
Disusun oleh Kelompok I :
NAMA                        NIM
Aan Almaidah                   PO.62.20.1.12.199
Aberio Medianto               PO.62.20.1.12.200
Andry Chlara Dewanti     PO.62.20.1.12.202
Antika Ramadhana           PO.62.20.1.12.203
Aprilia Retnaning              PO.62.20.1.12.204

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN PALANGKARAYA
JURUSAN GIZI
2013





BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Urin disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra. Cairan yang tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang akan dibuang keluar tubuh. (Winarno, 1997)
Urin yang kita keluarkan terdiri dari berbagai unsur seperti : air, protein, amoniak, glukosa, sedimen, bakteri, epitel dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut sangat bervariasi perbandingannya pada orang yang berbeda dan juga pada waktu yang berbeda dan dipengaruhi oleh makanan yang kita konsumsi. Kandungan urin inilah yang menentukan tampilan fisik air urin seperti kekentalannya, warna, kejernihan, bau, busa, dan sebagainya. (Powrie, 1981).
Urin yang terlalu keruh menandakan tingginya kadar unsur-unsur yang terlarut di dalamnya. Hal ini bisa terjadi karena faktor makanan, karena adanya infeksi yang mengeluarkan bakteri atau karena konsumsi air yang kurang. Bau urin dapat bervariasi karena kandungan asam organik yang mudah menguap. Diantara bau yang berlainan dari normal seperti: bau oleh makanan yang mengandung zat-zat atsiri seperti jengkol, petai, durian, asperse dan lain-lain. Bau obat-obatan seperti terpentin, menthol dsb, Bau amoniak biasanya terjadi kalau urin dibiarkan tanpa pengawet atau karena reaksi oleh bakteri yang mengubah ureum di dalam kantong kemih.Bau keton sering pada penderita kencing manis, dan bau busuk sering terjadi pada penderita keganasan (tumor) di saluran kemih. (De man, 1997).


1.2  Tujuan
-       Agar mahasiswa mengetahui cara menguji protein dalam urin secara kualitatif.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Urine
Urine atau air seni atau air kencing merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Urine disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra.
Urine normal biasanya berwarna kuning, berbau khas jika didiamkan berbau ammoniak, pH berkisar 4,8 – 7,5 dan biasanya 6 atau 7. Berat jenis urine 1,002 – 1,035. Volume normal perhari 900 – 1400 ml. (Anshori, 1988)
2.2. Proses Terbentuknya Urine
Penyaringan darah pada ginjal lalu terjadilah urine. Darah masuk ginjal melalui pembuluh nadi ginjal. Ketika berada di dalam membrae glomenulus, zat-zat yang terdapat dalam darah (air, gula, asam amino dan urea) merembes keluar dari pembuluh darah kemudian masuk ke dalam simpai/kapsul bowman dan menjadi urine primer. Proses ini disebut filtrasi.
Urine primer dari kapsul bowman mengalir melalui saluran-saluran halus (tubulus kontortokus proksimal). Di saluran-saluran ini zat-zat yang masih berguna, misalnya gula, akan diserap kembali oleh darah melalui pembuluh darah yang mengelilingi saluran tersebut sehingga terbentuk urine sekunder. Proses ini disebut reabsorpsi. Urine sekunder yang terbentuk kemudian masuk tubulus kotortokus distal dan mengalami penambahan zat sisa metabolism maupun zat yang tidak mampu disimpan dan akhirnya terbentuklah urine sesungguhnya yang dialirkan ke kandung kemih melalui ureter. Proses ini disebut augmentasi. Apabila kandung kemih telah penuh dengan urine, tekanan urine pada dinding kandung kemih akan menimbulkan rasa ingin buang air kecil atau kencing.
Banyaknya urine yang dikeluarkan dari dalam tubuh seseorang yang normal sekitar 5 liter setiap hari. Faktor yang mempengaruhi pengeluaran urine dari dalam tubuh tergantung dari banyaknya air yang diminum dan keadaan suhu apabila suhu udara dingin, pembentukan urine meningkat sedangkan jika suhu panas, pembentukan urine sedikit.
Pada saat minum banyak air, kelebihan air akan dibuang melalui ginjal. Oleh karena itu jika banyak minum akan banyak mengeluarkan urine. Warna urine setiap orang berbeda-beda. Warna urine biasanya dipengaruhi oleh jenis makanan yang dimakan, jenis kegiatan atau dapat pula disebabkan oleh penyakit. Namun biasanya warna urine normal berkisar dari warna bening sampai warna kuning pucat. (Syaifuddin, 1997)
2.3. Komposisi Urine
1.    Air ( seperti urea )
2.    Garam terlarut
3.    Materi organic
Secara kimiawi kandungan zat dalam urine diantaranya adalah sampah nitrogen (ureum, kreatinin dan asam urat), asam hipurat zat sisa pencernaan sayuran dan buah, badan keton zat sisa metabolisme lemak, ion-ion elektrolit (Na, Cl, K, Amonium, sulfat,Ca dan Mg), hormon, zat toksin (obat, vitamin dan zat kimia asing), zat abnormal (protein, glukosa, sel darah Kristal kapur dsb.) (Montgomery, Rex dkk. 1993)
2.4. Proteinuria
Proteinuria yaitu urin manusia yang terdapat protein yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam keadaan normal, protein didalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak progresif. Lagipula protein dikeluarkan urin dalam jumlah yang bervariasi sedikit dan secara langsung bertanggung jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan adanya penyebab/penyakit dasarnya.
Adapun proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,5%.Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan ginjal.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200mg/hari.pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit diatas nilai normal. Dikatakan proteinuria massif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul didalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu:
1.    Filtrasi glomerulus
2.    Reabsorbsi protein tubulus
a.    Patofisiologi Proteinuria
Proteinuria dapat meningkatkan melalui salah satu cara dari ke-4 jalan yaitu:
1.    Perubahan permeabilitas glumerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama abumin.
2.    Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi.
3.    Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal,Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4.    Sekresi yang meningkat dari mekuloprotein uroepitel dan sekresi IgA dalam respon untuk inflamasi.
Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Protein yang lebih kecil (100 kDal) sementara foot processes dari epitel/podosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat,aspartat, dan asam silat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti albumin.
Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan di reabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskersi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema (sindrom nefrotik). (Ganong, W. F, 2000)
b.    Proteinuria Fisiologis
Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainan/penyakit ginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya kurang dari 200 mg/hari dan bersifat sementara. Misalnya, pada keadaaan demam tinggi, gagal jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat mencapai lebih dari 1 gram/hari, pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif palsu proteinuria masif). (Ganong, W. F, 2000)
c.    Proteinuria Patologis
Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjla obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obatan analgestik dan kelainan kongenital kista, sering tidak ditemukan proteinuria. Walaupun demikian proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun pada penyakit ginjal non diabetes.
Kita mengenal 3 macam proteinuria yang patologis: Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif, terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein didalam urin yang mengnadung lebih dari 3 gram/24 jam pada dewasa atau 40 mg/m2/jam pada anak-anak, biasanya berhubungan secara bermakna dengan lesi/kebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi 3,5 gram/24 jam.
Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan retinopati dan penyakit glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria patologis:
1.    Proteinuria glomerulus, misalnya: mikroalbuminuria, proteinuria klinis.
2.    Proteinuria tubular
3.    Overflow proteinuria
2.4.1.    Proteinuria Glomerulus
Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal dimana albumin adalah jenis protein yang paling dominan pada urin sedangkan sisanya protein dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah kecil saja. Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat:
1.    Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang dipengaruhi glomerulus, protein plasma, terutama albumin, mengalami kebocoran pada filtrat glomerulus pada sejumlah kapasitas tubulus yang berlebihan yang menyebabkan proteinuria. Pada penyakit glomerulus dikenal penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah.
2.  Faktor-faktor hemodinamik menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik dinding kapiler glomerulus. Proteinuria ini terjadi akibat kebocoran glomerulus yang behubungan dengan kenaikan permeabilitas membran basal glomerulus terhadap protein. (Ganong, W. F, 2000)
a.    Mikroalbuminuria
Pada keadaan normal albumin urin tidak melebihi 30mg/hari. Bila albumin di urin 30-300 mg/hari atau 30-350 mg/hari disebut mikro albuminuria. Mikroalbuminuria merupakan marker untuk proteinuria klinis yang disertai dengan penurunan faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik. Pada pasien diabetes mellitus tipe I dan II, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikro albuminuria sangat penting. Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena disfungsi endotel yang luas. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria dengan risiko penyakit kardiovaskular. (Yatim, W. 1982)
b.      Proteinuria Klinis
Pemeriksaan ditentukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya dengan uji Esbach dan Biuret. Proteinuria klinis dapat ditemukan antara 1-5 g/hari. (Kimball, 1993)
2.4.2.    Proteinuria Tubular
Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg/hari, terdiri atas β-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Faankoni, pielonefritis kronik dan akibat cangkok ginjal. (Yatim, W. 1982)
2.4.3.    Overflow Proteinuria
Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel) berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek/protein berat molekul rendah (kurang dari 4000 dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat di deteksi dengan pemeriksaan dipstik/ yang umumnya mendeteksi albumin/ pemeriksaan rutin biasa , tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut protein Bence Jonespenyakit lain yang dapat menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan makroglobulinemia.  (Yatim, W. 1982)
2.4.4.    Proteinuria Isolasi
Adalah sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik.proteinuria ini hampir ditemukan secara kebetulan dapat menetap/persisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik tubuh pasien. Proteinuria terisolasi dibagi dalam 2 kategori:
1)    Jinak
2)    yang lebih serius lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara persisten. (Juncquiera,L, Carlos dkk, 1997)
a.    Proteinuria Isolasi Jinak
1)    Proteinuria Fungsional
Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena berbagai penyakit. Proteinuria tersebut adalah jenis glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma.
2)    Proteinuria Transien Idiopatik
Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anak-anak dan dewasa muda, yang ditandai dengan proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali.
3)    Proteinuria Intermitten
Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria. Prognosis pada kebanyakan pasien adalah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang setelah beberapa tahun.
4)    Proteinuria Ortostatik (Postural)
Pada semua pasien dengan ekskresi protein massif, proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnosis dan prognosis. Proteinuria sering terjadi pada usia dewasa muda, jarang terdapat pada usia di atas 30 tahun.
Patofosiologi proteinuria ortostatik tidaklah diketahui. Walaupun biasanya prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non-ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang.
b.    Proteinuria Terisolasi yang Persisten/Menetap
Anamnesis secara lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjal/sistemik yang menjadi penyebabnya. (Juncquiera,L, Carlos dkk, 1997)
2.5.        Cara Mengukur Protein di Dalam Urin
Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH >7,0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Sekarang ini, dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mg/hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung dari mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus, tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektifitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin, dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Protein yang lebih kecil (100kDal) sementara foot processes dari epitel atau podosit akan memungkinkan lewatnya air dan solut kecil untuk transport melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, asam partat, asam sialat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif ini akan menghalangi transport molekul anion seperti albumin. (Thenawijaya, M. 1995)
2.6.        Pemilihan sampel urin
Hasil urinalisa (pemeriksaan urin) terhadap kumpulan urin sepanjang 24 jam pada seseorang akan memberikan hasil yang hampir sama dengan urin sepanjang 24 jam berikutnya. Namun meskipun pada hari yang sama, hasil pemeriksaan pada saat-saat tertentu akan memberikan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, urin pagi berbeda dengan urin siang atau malam. Berbagai jenis sampel urin antara lain urin sewaktu, urin pagi, urin postprandial, urin 24 jam serta urin 3 gelas dan urin 2 gelas pada pria. (Thenawijaya, M. 1995)
1.    Urin sewaktu
Urin sewaktu adalah urin yang dikeluarkan pada suatu waktu yang tak ditentukan secara khusus. Urin ini dapat digunakan untuk berbagai macam pemeriksaan. Urin ini cukup baik untuk pemeriksaan rutin yang mengikuti pemeriksaan badan tanpa pendapat khusus. (Thenawijaya, M. 1995)
2.    Urin pagi
Urin pagi adalah urin yang dikeluarkan paling pagi setelah bangun tidur. Urin pagi lebih pekat daripada urin siang sehingga cocok untuk pemeriksaan sedimen, berat jenis, protein dll. Bagi kalangan kebidanan, urin pagi baik untuk pemeriksaan kehamilan berdasarkan adanya hormon human chorionic gonadotrophin (HCG) di dalam urin. (Thenawijaya, M. 1995)
3.    Urin postprandial
Urin postprandial adalah urin yang pertama kali dilepaskan 1,5-3 jam setelah makan. Urin ini berguna untuk pemeriksaan glukosuria (adanya glukosa di dalam urin). (Thenawijaya, M. 1995)
4.    Urine 24 jam
Urine 24 jam adalah urin yang dikumpulkan selama 24 jam, dengan cara:
a.    Siapkan botol besar bersih bertutup (minimal 1,5 L) umumnya dilengkapi pengawet.
b.    Jam 7 pagi urin dibuang.
c.    Urin selanjutnya (termasuk jam 7 esok hari) ditampung dan dicampur.
Urine 24 jam diperlukan untuk pemeriksaan kuantitatif. Ada juga urine yang tak tak penuh 24 jam, misalnya urin siang 12 jam (jam 7 pagi
sampai dengan jam 7 malam) , urin malam 12 jam (jam 7 malam sampai dengan jam 7 pagi), urin 2 jam dll.
(Thenawijaya, M. 1995)
5.    Urin 3 gelas dan urin 2 gelas
Urin 3 gelas adalah urin yang ditampung sejumlah 3 gelas, dengan cara:
a.    Beberapa jam sebelumnya penderita dilarang berkemih
b.    Siapkan 3 gelas (sebaiknya gelas sedimen)
c.    Penderita berkemih langsung ke dalam gelas tanpa henti. Gelas I diisi 20-30 ml pertama (berisi sel-sel uretra pars anterior dan prostatika), Gelas II diisi volume berikutnya (berisi unsur-unsur dari kandung kemih), Gelas III diisi volume terakhir (berisi unsur-unsur khusus dari uretra pars prostatika dan getah prostat)
Urin 2 gelas diperoleh dengan cara sama dengan urin 3 gelas, dengan 2 gelas saja, gelas pertama diisi 50-75 ml. Urin ini digunakan untuk menentukan letak radang atau lesi yang menghasilkan darah atau nanah pada urin seorang pria. (Thenawijaya, M. 1995)



BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.    Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
1.   Tabung reaksi
2.   Erlenmeyer
3.   Pipet
4.   Gelas ukur
5.   Hot plate
6.   Corong
7.   Rak
3.1.2.  Bahan
1.   Urine
2.   Asam asetat
3.   Aquades

3.2.     Sifat Fisika dan Kimia :
3.2.1.    Urin
Sifat fisika
Sifat kimia
-   Jumlah rata-rata 1-2 liter/hari tergantung banyaknya cairan yang dimasukan
-   Berwarna bening/orange pucat tanpa endapan
-   Mempunyai bau yang menyengat
-   Reaksi sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6
(Mulyono, 2009)





3.2.2.    Asam asetat
Sifat fisika
Sifat kimia
-   Berbentuk cairan jernih
-   Tidak berwarna, berbau menyengat dan berasa asam
-   Mempunyai titik beku
-   Titik didih 118,1oC
-   Larut dalam alcohol, air dan eter
-   Tidak larut dalam karbon disulpida
-   Rumus molekul CH3COOH
-   Bobot molekul 60,05.

-    Asam  asetat mengandung tidak kurang dari  36,0% b/b dan tidak lebih dari 37,0%.b/b C2H4O2
-   Asam asetat mudah menguap diudara terbuka
-   Mudah terbakar dan dapat menyebabkan korosif pada logam.
-   Asam asetat larut dalam air dengan suhu 200C, Etanol 9,5 % pekat, dan gliserol pekat.
-   Asam asetat jika diencerkan tetap bereaksi asam.
(Mulyono, 2009)

3.2.3.    Aquades
Sifat fisika
Sifat kimia
-   Rumus molekul : H2O
-   Massa molar : 18.0153 g/mol
-   Densitas dan fase :
a.0.998 g/cm³,Cairan.
b.0.92 g/cm³, padatan
-    Titik lebur : 0°C (273.15 K) (32ºF)
-    Titik didih : 100°C (373.15 K) (212 ºF)
-    Penampilan : Cairan tak Berwarna, Tidak berbau
(Mulyono, 2009)
-   Pelarut yang baik
-   Memiliki pH 7 (netral)
-   Bukan merupakan zat pengoksidasi kuat.
-   Lebih bersifat reduktor daripada oksidator.
-   Reaksi oksidasi dari air sendiri dapat terjadi jika direaksikan dengan logam alkali atau alkali tanah.
Ca + 2 H2O Ca2+ + 2 OH- + H2


3.3.     Cara kerja
1.   Siapkan 2 tabung reaksi dan masukkan ke dalam rak
2.   Ambil 2 cc urine dan masukkan ke dalam tabung reaksi
3.   Masukkan 8 tetes larutan Asam Asetat 6% ke dalam tabung reaksi yang telah diisi urine
4.   Panaskan di atas api/hot plate selama 2 menit (jangan sampai mendidih)
5.   Angkat dan kocok
6.   Amati hasilnya



 


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan
Perlakuan
Hasil
Gambar
Penambahan 2 cc urin kedalam masing-masing tabung reaksi
Urin berwarna kuning
Penambahan asam asetat 6% sebanyak 8 tetes
Urin tetap berwarna kuning
Pemanasan tabung reaksi yang berisi larutan urin dan asam asetat di atas api Bunsen selama 2 menit (jangan mendidih) dan kemudian diangkat (tabung reaksi dikocok)
Larutan keruh dan namun tidak ada butiran


4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini kami melakukan praktikum penentuan protein dalam urin secara kualitatif. Sebelum praktik dilakukan terlebih dahulu kami menyiapkan sampel urin murni sebanyak 4 cc untuk dua buah tabung reaksi.
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan sebanyak dua kali. Pertama-tama urin sampel dimasukan  kedalam masing-masing tabung reaksi sebanyak 2 cc. Kemudian sampel urin tersebut ditambahkan 8 tetes asam asetat. Konsentrasi asam asetat yang dipakai bisa digunakan konsentrasi antara 3-6%, yang penting diperhatikan adalah pH yang dicapai dengan pemberian asam asetat. Ada yang lebih suka menggunakan asam penyangga dengan pH 4,5 sebagai pengganti asam asetat. Disini kami menggunakan konsentrasi asam asetat yaitu 6%. Pemberian asam asetat berfungsi untuk mencapau titik isoelektrik protein, pemanasan selanjutnya mengadakan denaturasi dan akhirnya terjadi presipitasi.
Setelah urin sampel ditetesi asam asetat, tidak ada perubahan warna terjadi yang dapat kami amati. Kemudian tabung reaksi berisi urin dan asam asetat tadi dipanaskan diatas Bunsen untuk mempercepat proses pemanasan , proses pemanasan   jangan sampai larutan mendidih dan hanya berlangsung 2 menit agar protein yang ada di dalam  protein tersebut tidak pecah.  Pemanasan akan membuat protein sample terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan  non-kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit. Setelah ± 2 menit, tabung reaksi kami angkat, dan setelah diamati sambil tabung reaksi dikocok, larutan berwarna keruh  ringan dan tanpa butiran halus . Indikator pengamatan yang kami gunakan yaitu :
-       ( - )           : Ada kekeruhan
-       ( + )          : Keruh sedikit tanpa butiran
-       ( ++ )        : Kekeruhan lebih jelas dan tampak butiran
-       ( +++ )     : Urin keruh dan tampak kepingan
-       ( ++++ )   : Sangat keruh + gumpalan + kepingan lebih besar
Penentuan protein urin secara kualitatif yang kami lakukan terhadap sampel urin dari kelompok kami yaitu : (+) Keruh sedikit tanpa butiran Artinya urin sampel yang kami gunakan dengan hasil + menandakan bahwa untuk protein, ginjal orang yang sampel urinnya diambil masih dalam keadaan baik, begitu pula dengan kelompok yang lain. Jika hasil yang terjadi +++ (urin keruh dan ada kepingan) atau hasil ++++ (sangat keruh, ada gumpalan dan kepingan), berarti dalam urin orang tersebut proteinnya tinggi, itu menandakan ada gangguan di Nefron yang berfungsi sebagai penyaring protein. Biasanya orang yang protein di dalam urinnya tinggi disebut penderita syndroma Nefrotik.


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Adapun hasil prkatikum kali ini adalah :
Mahasiwa mampu menguji protein yang terdapat di dalam urin secara kualitatif yaitu dengan menyiapkan sampel urin murni sebanyak 4 cc untuk dua buah tabung reaksi. Lalu urin sampel dimasukan  kedalam masing-masing tabung reaksi sebanyak 2 cc. Kemudian sampel urin tersebut ditambahkan 8 tetes asam asetat. Setelah itu dipanaskan ± 2 menit dan amati perubahan yang terjadi. Berdasarkan percobaan yang kami lakukan sample urine mengalami perubahan setelah dilakukan pemanasan menjadi keruh sedikit tanpa butiran(+)  Artinya urin sampel yang kami gunakan dengan hasil + menandakan bahwa untuk protein, ginjal orang yang sampel urinnya diambil masih dalam keadaan baik, Indikator pengamatan yang digunakan yaitu :
-       ( - )           : Ada kekeruhan
-       ( + )          : Keruh sedikit tanpa butiran
-       ( ++ )        : Kekeruhan lebih jelas dan tampak butiran
-       ( +++ )     : Urin keruh dan tampak kepingan
-       ( ++++ )   : Sangat keruh + gumpalan + kepingan lebih besar










DAFTAR PUSTAKA
Anshori. 1988. Biologi Jilid I. Geneca Exat. Bandung.
Dahelmi. Ms. 1991. Fisiologi Hewan. Universitas Andalas. Padang
Djuanda, T. 1980. Pengantar Anatomi Perbandingan Vertebrata. Armico: Bandung.
Ganong, W. F,2000. Fisiologi Kedokteran edisi 14, Penerbit buku kedokteran, EGC.
Juncquiera,L, Carlos dkk. 1997. Histologi Dasar. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
Kimball. 1990. Biologi. Erlangga: Jakarta
Kimball. 1998. Biologi. Erlangga: Jakarta
Kartolo, W. 1990. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. Erlangga: Jakarta.
Mulyono. 2009. Kamus Kimia. EGC: Jakarta
Montgomery, Rex dkk. 1993. Biokimia jilid I. Yogjakarta : Gajah Mada University Press
Probosunu, N. 1994 . Fisiologi Umum. Yogjakarta : Gajah Mada University Press
Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi. ECG.
Thenawijaya, M. 1995. Uji Biologi. Erlangga: Jakarta.
Wulangi, K. 1979. Prinsip-Prinsip Fisiologi Hewan. Jakarta : Erlangga
Wulangi, kartolo. 1993. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. Erlangga. Bandung
Yatim, W. 1982. Biologi Modern. Tarsito: Bandung.