BIOKIMIA
“Penentuan Protein Dalam Urine
Secara Kualitatif”
NAMA NIM
Aan Almaidah PO.62.20.1.12.199
Aberio Medianto PO.62.20.1.12.200
Andry Chlara
Dewanti PO.62.20.1.12.202
Antika Ramadhana PO.62.20.1.12.203
Aprilia Retnaning PO.62.20.1.12.204
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN PALANGKARAYA
JURUSAN GIZI
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Urin atau air
seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang
kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Urin
disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya
dibuang keluar tubuh melalui uretra. Cairan yang tersisa mengandung urea dalam
kadar yang tinggi dan berbagai senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang
akan dibuang keluar tubuh. (Winarno, 1997)
Urin yang kita keluarkan terdiri dari
berbagai unsur seperti : air, protein, amoniak, glukosa, sedimen, bakteri,
epitel dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut sangat bervariasi perbandingannya
pada orang yang berbeda dan juga pada waktu yang berbeda dan dipengaruhi oleh
makanan yang kita konsumsi. Kandungan urin inilah yang menentukan tampilan
fisik air urin seperti kekentalannya, warna, kejernihan, bau, busa, dan
sebagainya. (Powrie, 1981).
Urin
yang terlalu keruh menandakan tingginya kadar unsur-unsur yang terlarut di
dalamnya. Hal ini bisa terjadi karena faktor makanan, karena adanya infeksi
yang mengeluarkan bakteri atau karena konsumsi air yang kurang. Bau
urin dapat bervariasi karena kandungan asam organik yang mudah menguap.
Diantara bau yang berlainan dari normal seperti: bau oleh makanan yang
mengandung zat-zat atsiri seperti jengkol, petai, durian, asperse dan
lain-lain. Bau obat-obatan seperti terpentin, menthol dsb, Bau amoniak biasanya
terjadi kalau urin dibiarkan tanpa pengawet atau karena reaksi oleh bakteri
yang mengubah ureum di dalam kantong kemih.Bau keton sering pada penderita
kencing manis, dan bau busuk sering terjadi pada penderita keganasan (tumor) di
saluran kemih. (De man, 1997).
1.2 Tujuan
- Agar
mahasiswa mengetahui cara menguji protein dalam urin secara kualitatif.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Pengertian Urine
Urine atau air seni atau air kencing
merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal kemudian dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul
sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan
tubuh. Urine disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung
kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra.
Urine normal biasanya berwarna kuning,
berbau khas jika didiamkan berbau ammoniak, pH berkisar 4,8 – 7,5 dan biasanya
6 atau 7. Berat jenis urine 1,002 – 1,035. Volume normal perhari 900 – 1400 ml.
(Anshori, 1988)
2.2.
Proses Terbentuknya Urine
Penyaringan darah pada ginjal lalu terjadilah
urine. Darah masuk ginjal melalui pembuluh nadi ginjal. Ketika berada di dalam
membrae glomenulus, zat-zat yang terdapat dalam darah (air, gula, asam amino
dan urea) merembes keluar dari pembuluh darah kemudian masuk ke dalam
simpai/kapsul bowman dan menjadi urine primer. Proses ini disebut filtrasi.
Urine primer dari kapsul bowman
mengalir melalui saluran-saluran halus (tubulus kontortokus proksimal). Di
saluran-saluran ini zat-zat yang masih berguna, misalnya gula, akan diserap
kembali oleh darah melalui pembuluh darah yang mengelilingi saluran tersebut
sehingga terbentuk urine sekunder. Proses ini disebut reabsorpsi. Urine
sekunder yang terbentuk kemudian masuk tubulus kotortokus distal dan mengalami
penambahan zat sisa metabolism maupun zat yang tidak mampu disimpan dan
akhirnya terbentuklah urine sesungguhnya yang dialirkan ke kandung kemih
melalui ureter. Proses ini disebut augmentasi. Apabila kandung kemih telah
penuh dengan urine, tekanan urine pada dinding kandung kemih akan menimbulkan rasa
ingin buang air kecil atau kencing.
Banyaknya urine yang dikeluarkan dari
dalam tubuh seseorang yang normal sekitar 5 liter setiap hari. Faktor yang
mempengaruhi pengeluaran urine dari dalam tubuh tergantung dari banyaknya air
yang diminum dan keadaan suhu apabila suhu udara dingin, pembentukan urine
meningkat sedangkan jika suhu panas, pembentukan urine sedikit.
Pada saat minum banyak air, kelebihan
air akan dibuang melalui ginjal. Oleh karena itu jika banyak minum akan banyak
mengeluarkan urine. Warna urine setiap orang berbeda-beda. Warna urine biasanya
dipengaruhi oleh jenis makanan yang dimakan, jenis kegiatan atau dapat pula
disebabkan oleh penyakit. Namun biasanya warna urine normal berkisar dari warna
bening sampai warna kuning pucat. (Syaifuddin, 1997)
2.3.
Komposisi Urine
1.
Air ( seperti urea )
2.
Garam terlarut
3.
Materi organic
Secara
kimiawi kandungan zat dalam urine diantaranya adalah sampah nitrogen (ureum,
kreatinin dan asam urat), asam hipurat zat sisa pencernaan sayuran dan buah,
badan keton zat sisa metabolisme lemak, ion-ion elektrolit (Na, Cl, K, Amonium,
sulfat,Ca dan Mg), hormon, zat toksin (obat, vitamin dan zat kimia asing), zat
abnormal (protein, glukosa, sel darah Kristal kapur dsb.) (Montgomery, Rex dkk.
1993)
2.4.
Proteinuria
Proteinuria
yaitu urin manusia yang terdapat protein yang melebihi nilai normalnya yaitu
lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2.
Dalam keadaan normal, protein didalam urin sampai sejumlah tertentu masih
dianggap fungsional. Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin,
baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti
adanya penyakit ginjal yang serius. Walaupun penyakit ginjal yang penting
jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat
sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak progresif.
Lagipula protein dikeluarkan urin dalam jumlah yang bervariasi sedikit dan
secara langsung bertanggung jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein
di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan adanya penyebab/penyakit dasarnya.
Adapun
proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat
sekitar 3,5%.Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan
ginjal.
Biasanya
proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200mg/hari.pada
beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan
proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih
dan jumlahnya biasanya hanya sedikit diatas nilai normal. Dikatakan proteinuria
massif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mg/hari dan biasanya
mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat
sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang
melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul didalam urin. Ini
disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu:
1.
Filtrasi glomerulus
2.
Reabsorbsi protein tubulus
a. Patofisiologi Proteinuria
Proteinuria
dapat meningkatkan melalui salah satu cara dari ke-4 jalan yaitu:
1.
Perubahan permeabilitas glumerulus yang
mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama abumin.
2.
Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil
protein yang normal difiltrasi.
3.
Filtrasi glomerulus dari sirkulasi
abnormal,Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas
reabsorbsi tubulus.
4.
Sekresi yang meningkat dari mekuloprotein
uroepitel dan sekresi IgA dalam respon untuk inflamasi.
Sejumlah
besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki
urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin,
globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding
glomerulus. Protein yang lebih kecil (100 kDal) sementara foot processes dari
epitel/podosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk
transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion
glikoprotein yang kaya akan glutamat,aspartat, dan asam silat yang bermuatan
negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul
anion seperti albumin.
Mekanisme
lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria
abnormal yang melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. Ini biasanya sering
dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang
dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Rantai
pendek ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan di
reabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskersi protein urin
total melebihi 3,5 gram sehari, sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dan edema (sindrom nefrotik). (Ganong, W. F, 2000)
b. Proteinuria Fisiologis
Proteinuria
sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainan/penyakit ginjal. Beberapa
keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada
keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya kurang
dari 200 mg/hari dan bersifat sementara. Misalnya, pada keadaaan demam tinggi,
gagal jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat mencapai
lebih dari 1 gram/hari, pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang
sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus tetapi karena banyaknya
protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif
palsu proteinuria masif). (Ganong, W. F, 2000)
c. Proteinuria Patologis
Sebaliknya,
tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada penyakit
ginjal polikistik, penyakit ginjla obstruksi, penyakit ginjal akibat
obat-obatan analgestik dan kelainan kongenital kista, sering tidak ditemukan
proteinuria. Walaupun demikian proteinuria adalah manifestasi besar penyakit
ginjal dan merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit
ginjal diabetes maupun pada penyakit ginjal non diabetes.
Kita
mengenal 3 macam proteinuria yang patologis: Proteinuria yang berat, sering
kali disebut masif, terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein didalam urin
yang mengnadung lebih dari 3 gram/24 jam pada dewasa atau 40 mg/m2/jam pada
anak-anak, biasanya berhubungan secara bermakna dengan lesi/kebocoran
glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi 3,5
gram/24 jam.
Penyebab
proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang cukup
lama dengan retinopati dan penyakit glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria
patologis:
1.
Proteinuria glomerulus, misalnya:
mikroalbuminuria, proteinuria klinis.
2.
Proteinuria tubular
3.
Overflow proteinuria
2.4.1. Proteinuria Glomerulus
Bentuk
proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal dimana albumin adalah
jenis protein yang paling dominan pada urin sedangkan sisanya protein dengan
berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah kecil saja. Dua faktor utama yang
menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat:
1.
Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit
yang dipengaruhi glomerulus, protein plasma, terutama albumin, mengalami
kebocoran pada filtrat glomerulus pada sejumlah kapasitas tubulus yang berlebihan
yang menyebabkan proteinuria. Pada penyakit glomerulus dikenal penyakit
perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah.
2.
Faktor-faktor hemodinamik menyebabkan
proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat tanpa perubahan apapun
pada permeabilitas intrinsik dinding kapiler glomerulus. Proteinuria ini
terjadi akibat kebocoran glomerulus yang behubungan dengan kenaikan
permeabilitas membran basal glomerulus terhadap protein. (Ganong, W. F, 2000)
a. Mikroalbuminuria
Pada
keadaan normal albumin urin tidak melebihi 30mg/hari. Bila albumin di urin
30-300 mg/hari atau 30-350 mg/hari disebut mikro albuminuria. Mikroalbuminuria
merupakan marker untuk proteinuria klinis yang disertai dengan penurunan faal
ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik.
Pada pasien diabetes mellitus tipe I dan II, kontrol ketat gula darah, tekanan
darah dan mikro albuminuria sangat penting. Hipotesis mengapa mikroalbuminuria
dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena disfungsi
endotel yang luas. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan
peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada sel endotel yang berhubungan
antara mikroalbuminuria dengan risiko penyakit kardiovaskular. (Yatim,
W. 1982)
b. Proteinuria Klinis
Pemeriksaan
ditentukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya dengan uji Esbach dan
Biuret. Proteinuria klinis dapat ditemukan antara 1-5 g/hari. (Kimball, 1993)
2.4.2. Proteinuria Tubular
Jenis
proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg/hari,
terdiri atas β-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang
biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal tubular acidosis (RTA),
sarkoidosis, sindrom Faankoni, pielonefritis kronik dan akibat cangkok ginjal. (Yatim,
W. 1982)
2.4.3. Overflow Proteinuria
Diskrasia
sel plasma (pada mieloma multipel) berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi
rantai pendek/protein berat molekul rendah (kurang dari 4000 dalton) berupa
Light Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat di deteksi dengan pemeriksaan
dipstik/ yang umumnya mendeteksi albumin/ pemeriksaan rutin biasa , tetapi
harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut protein Bence Jonespenyakit
lain yang dapat menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan
makroglobulinemia. (Yatim,
W. 1982)
2.4.4. Proteinuria Isolasi
Adalah
sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang
tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik.proteinuria ini
hampir ditemukan secara kebetulan dapat menetap/persisten, dapat pula hanya
sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik tubuh pasien.
Proteinuria terisolasi dibagi dalam 2 kategori:
1)
Jinak
2)
yang lebih serius lagi adalah yang mungkin
tidak ortostatik dan timbul secara persisten. (Juncquiera,L, Carlos dkk, 1997)
a. Proteinuria Isolasi Jinak
1) Proteinuria Fungsional
Ini
adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang dirawat di
rumah sakit karena berbagai penyakit. Proteinuria tersebut adalah jenis
glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang
meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma.
2) Proteinuria Transien Idiopatik
Merupakan
kategori proteinuria yang umum pada anak-anak dan dewasa muda, yang ditandai
dengan proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi
hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali.
3) Proteinuria Intermitten
Terdapat
pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti penyebab
proteinuria. Prognosis pada kebanyakan pasien adalah baik dan proteinuria
kadang-kadang menghilang setelah beberapa tahun.
4) Proteinuria Ortostatik (Postural)
Pada
semua pasien dengan ekskresi protein massif, proteinuria meningkat pada posisi
tegak dibandingkan posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein
tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnosis dan prognosis. Proteinuria
sering terjadi pada usia dewasa muda, jarang terdapat pada usia di atas 30
tahun.
Patofosiologi
proteinuria ortostatik tidaklah diketahui. Walaupun biasanya prognosis
proteinuria ortostatik baik, persisten (non-ortostatik) proteinuria berkembang
pada segelintir orang.
b. Proteinuria Terisolasi yang
Persisten/Menetap
Anamnesis
secara lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit
ginjal/sistemik yang menjadi penyebabnya. (Juncquiera,L, Carlos dkk, 1997)
2.5.
Cara
Mengukur Protein di Dalam Urin
Metode
yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan
bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil
positif palsu bila pH >7,0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi
darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik.
Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan
menjadi negatif palsu. Sekarang ini, dipstik yang sangat sensitif tersedia di
pasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mg/hari) dan
merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi
jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.
Derajat
proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung dari mekanisme jejas
pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara
normal melewati kapiler glomerulus, tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan
selektifitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin, dan
protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus.
Protein yang lebih kecil (100kDal) sementara foot processes dari epitel atau
podosit akan memungkinkan lewatnya air dan solut kecil untuk transport melalui
saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya
akan glutamat, asam partat, asam sialat yang bermuatan negatif pada pH
fisiologis. Muatan negatif ini akan menghalangi transport molekul anion seperti
albumin. (Thenawijaya, M. 1995)
2.6.
Pemilihan
sampel urin
Hasil
urinalisa (pemeriksaan urin) terhadap kumpulan urin sepanjang 24 jam pada
seseorang akan memberikan hasil yang hampir sama dengan urin sepanjang 24 jam
berikutnya. Namun meskipun pada hari yang sama, hasil pemeriksaan pada saat-saat
tertentu akan memberikan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, urin pagi berbeda
dengan urin siang atau malam. Berbagai jenis sampel urin antara lain urin
sewaktu, urin pagi, urin postprandial, urin 24 jam serta urin 3 gelas dan urin
2 gelas pada pria. (Thenawijaya, M. 1995)
1. Urin sewaktu
Urin
sewaktu adalah urin yang dikeluarkan pada suatu waktu yang tak ditentukan
secara khusus. Urin ini dapat digunakan untuk berbagai macam pemeriksaan. Urin
ini cukup baik untuk pemeriksaan rutin yang mengikuti pemeriksaan badan tanpa
pendapat khusus. (Thenawijaya, M. 1995)
2. Urin pagi
Urin
pagi adalah urin yang dikeluarkan paling pagi setelah bangun tidur. Urin pagi
lebih pekat daripada urin siang sehingga cocok untuk pemeriksaan sedimen, berat
jenis, protein dll. Bagi kalangan kebidanan, urin pagi baik untuk pemeriksaan
kehamilan berdasarkan adanya hormon human chorionic gonadotrophin (HCG) di
dalam urin. (Thenawijaya, M. 1995)
3. Urin postprandial
Urin
postprandial adalah urin yang pertama kali dilepaskan 1,5-3 jam setelah makan. Urin
ini berguna untuk pemeriksaan glukosuria (adanya glukosa di dalam urin). (Thenawijaya,
M. 1995)
4. Urine 24 jam
Urine
24 jam adalah urin yang dikumpulkan selama 24 jam, dengan cara:
a.
Siapkan botol besar bersih bertutup (minimal
1,5 L) umumnya dilengkapi pengawet.
b.
Jam 7 pagi urin dibuang.
c.
Urin selanjutnya (termasuk jam 7 esok hari)
ditampung dan dicampur.
Urine
24 jam diperlukan untuk pemeriksaan kuantitatif. Ada juga urine yang tak tak
penuh 24 jam, misalnya urin siang 12 jam (jam 7 pagi
sampai dengan jam 7 malam) , urin malam 12 jam (jam 7 malam sampai dengan jam 7 pagi), urin 2 jam dll. (Thenawijaya, M. 1995)
sampai dengan jam 7 malam) , urin malam 12 jam (jam 7 malam sampai dengan jam 7 pagi), urin 2 jam dll. (Thenawijaya, M. 1995)
5. Urin 3 gelas dan urin 2 gelas
Urin
3 gelas adalah urin yang ditampung sejumlah 3 gelas, dengan cara:
a.
Beberapa jam sebelumnya penderita dilarang
berkemih
b.
Siapkan 3 gelas (sebaiknya gelas sedimen)
c.
Penderita berkemih langsung ke dalam gelas
tanpa henti. Gelas I diisi 20-30 ml pertama (berisi sel-sel uretra pars
anterior dan prostatika), Gelas II diisi volume berikutnya (berisi unsur-unsur
dari kandung kemih), Gelas III diisi volume terakhir (berisi unsur-unsur khusus
dari uretra pars prostatika dan getah prostat)
Urin
2 gelas diperoleh dengan cara sama dengan urin 3 gelas, dengan 2 gelas saja,
gelas pertama diisi 50-75 ml. Urin ini digunakan untuk menentukan letak radang
atau lesi yang menghasilkan darah atau nanah pada urin seorang pria. (Thenawijaya,
M. 1995)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Alat dan Bahan
3.1.1.
Alat
1.
Tabung
reaksi
2.
Erlenmeyer
3.
Pipet
4.
Gelas
ukur
5.
Hot
plate
6.
Corong
7.
Rak
3.1.2.
Bahan
1.
Urine
2.
Asam
asetat
3.
Aquades
3.2.
Sifat
Fisika dan Kimia :
3.2.1. Urin
Sifat
fisika
|
Sifat
kimia
|
-
Jumlah
rata-rata 1-2 liter/hari tergantung banyaknya cairan yang dimasukan
- Berwarna
bening/orange pucat tanpa endapan
- Mempunyai
bau yang menyengat
|
- Reaksi
sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6
(Mulyono, 2009)
|
3.2.2. Asam asetat
Sifat
fisika
|
Sifat
kimia
|
- Berbentuk cairan jernih
- Tidak berwarna, berbau menyengat dan berasa asam
- Mempunyai titik beku
- Titik didih 118,1oC
- Larut dalam alcohol, air dan eter
- Tidak larut dalam karbon disulpida
-
Rumus molekul CH3COOH
-
Bobot molekul 60,05.
|
- Asam asetat
mengandung tidak kurang dari 36,0% b/b
dan tidak lebih dari 37,0%.b/b C2H4O2
- Asam asetat mudah menguap diudara terbuka
- Mudah terbakar dan dapat menyebabkan korosif pada
logam.
- Asam asetat larut dalam air dengan suhu 200C,
Etanol 9,5 % pekat, dan gliserol pekat.
- Asam asetat jika diencerkan tetap bereaksi asam.
(Mulyono, 2009)
|
3.2.3. Aquades
Sifat fisika
|
Sifat kimia
|
- Rumus molekul : H2O
- Massa molar : 18.0153 g/mol
- Densitas dan fase :
a.0.998
g/cm³,Cairan.
b.0.92 g/cm³, padatan
- Titik
lebur : 0°C (273.15 K) (32ºF)
- Titik
didih : 100°C (373.15 K) (212 ºF)
-
Penampilan
: Cairan tak Berwarna, Tidak berbau
(Mulyono,
2009)
|
-
Pelarut yang baik
-
Memiliki pH 7 (netral)
-
Bukan merupakan zat pengoksidasi kuat.
- Lebih bersifat reduktor daripada oksidator.
- Reaksi oksidasi dari air sendiri dapat terjadi jika
direaksikan dengan logam alkali atau alkali tanah.
Ca + 2 H2O Ca2+ + 2 OH- + H2 |
3.3. Cara
kerja
1.
Siapkan
2 tabung reaksi dan masukkan ke dalam rak
2.
Ambil
2 cc urine dan masukkan ke dalam tabung reaksi
3.
Masukkan
8 tetes larutan Asam Asetat 6% ke dalam tabung reaksi yang telah diisi urine
4.
Panaskan
di atas api/hot plate selama 2 menit (jangan sampai mendidih)
5.
Angkat
dan kocok
6.
Amati
hasilnya
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Data Pengamatan
Perlakuan
|
Hasil
|
Gambar
|
Penambahan
2 cc urin kedalam masing-masing tabung reaksi
|
Urin
berwarna kuning
|
|
Penambahan
asam asetat 6% sebanyak 8 tetes
|
Urin
tetap berwarna kuning
|
|
Pemanasan
tabung reaksi yang berisi larutan urin dan asam asetat di atas api Bunsen
selama 2 menit (jangan mendidih) dan kemudian diangkat (tabung reaksi dikocok)
|
Larutan
keruh dan namun tidak ada butiran
|
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini kami melakukan praktikum
penentuan protein dalam urin secara kualitatif. Sebelum praktik dilakukan terlebih
dahulu kami menyiapkan sampel urin murni sebanyak 4 cc untuk dua buah tabung
reaksi.
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan sebanyak
dua kali. Pertama-tama urin sampel dimasukan
kedalam masing-masing tabung reaksi sebanyak 2 cc. Kemudian sampel urin
tersebut ditambahkan 8 tetes asam asetat. Konsentrasi
asam asetat yang dipakai bisa digunakan konsentrasi antara 3-6%, yang penting
diperhatikan adalah pH yang dicapai dengan pemberian asam asetat. Ada yang
lebih suka menggunakan asam penyangga dengan pH 4,5 sebagai pengganti asam
asetat. Disini kami menggunakan konsentrasi asam asetat yaitu 6%. Pemberian
asam asetat berfungsi untuk mencapau titik isoelektrik protein, pemanasan
selanjutnya mengadakan denaturasi dan akhirnya terjadi presipitasi.
Setelah
urin sampel ditetesi asam asetat, tidak ada perubahan warna terjadi yang dapat
kami amati. Kemudian tabung reaksi berisi urin dan asam asetat tadi dipanaskan
diatas Bunsen untuk mempercepat proses pemanasan , proses pemanasan jangan
sampai larutan mendidih dan hanya berlangsung 2 menit agar protein yang ada di
dalam protein tersebut tidak pecah. Pemanasan akan membuat protein sample
terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi
karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang
ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan non-kovalennya yang berupa ikatan peptida.
Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit. Setelah ± 2
menit, tabung reaksi kami angkat, dan setelah diamati sambil tabung reaksi
dikocok, larutan berwarna keruh ringan
dan tanpa butiran halus . Indikator pengamatan yang kami gunakan yaitu :
- ( -
) : Ada kekeruhan
- ( +
) : Keruh sedikit tanpa butiran
- (
++ ) : Kekeruhan lebih jelas dan
tampak butiran
- (
+++ ) : Urin keruh dan tampak kepingan
- (
++++ ) : Sangat keruh + gumpalan +
kepingan lebih besar
Penentuan protein urin secara kualitatif yang kami lakukan terhadap
sampel urin dari kelompok kami yaitu : (+) Keruh sedikit tanpa butiran Artinya
urin sampel yang kami gunakan dengan hasil + menandakan bahwa untuk protein,
ginjal orang yang sampel urinnya diambil masih dalam keadaan baik, begitu pula
dengan kelompok yang lain. Jika hasil yang terjadi +++ (urin keruh dan ada
kepingan) atau hasil ++++ (sangat keruh, ada gumpalan dan kepingan), berarti
dalam urin orang tersebut proteinnya tinggi, itu menandakan ada gangguan di
Nefron yang berfungsi sebagai penyaring protein. Biasanya orang yang protein di
dalam urinnya tinggi disebut penderita syndroma Nefrotik.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun
hasil prkatikum kali ini adalah :
Mahasiwa mampu menguji protein yang terdapat di dalam
urin secara kualitatif yaitu dengan menyiapkan sampel urin murni sebanyak 4 cc
untuk dua buah tabung reaksi. Lalu urin sampel dimasukan kedalam masing-masing tabung reaksi sebanyak
2 cc. Kemudian sampel urin tersebut ditambahkan 8 tetes asam asetat. Setelah
itu dipanaskan ± 2 menit dan amati perubahan yang terjadi. Berdasarkan
percobaan yang kami lakukan sample urine mengalami perubahan setelah dilakukan
pemanasan menjadi keruh sedikit tanpa butiran(+) Artinya urin sampel yang kami gunakan dengan
hasil + menandakan bahwa untuk protein, ginjal orang yang sampel urinnya
diambil masih dalam keadaan baik, Indikator pengamatan yang digunakan yaitu :
- ( -
) : Ada kekeruhan
- ( +
) : Keruh sedikit tanpa butiran
- (
++ ) : Kekeruhan lebih jelas dan
tampak butiran
- (
+++ ) : Urin keruh dan tampak kepingan
- (
++++ ) : Sangat keruh + gumpalan +
kepingan lebih besar
DAFTAR PUSTAKA
Dahelmi. Ms. 1991. Fisiologi
Hewan. Universitas Andalas. Padang
Djuanda, T. 1980. Pengantar
Anatomi Perbandingan Vertebrata. Armico: Bandung.
Ganong, W. F,2000. Fisiologi
Kedokteran edisi 14, Penerbit buku kedokteran, EGC.
Juncquiera,L, Carlos dkk. 1997. Histologi
Dasar. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
Kimball. 1990. Biologi.
Erlangga: Jakarta
Kimball. 1998. Biologi.
Erlangga: Jakarta
Kartolo, W. 1990. Prinsip-prinsip
Fisiologi Hewan. Erlangga: Jakarta.
Mulyono. 2009. Kamus Kimia. EGC:
Jakarta
Montgomery, Rex dkk. 1993. Biokimia
jilid I. Yogjakarta : Gajah Mada University Press
Probosunu, N. 1994 . Fisiologi
Umum. Yogjakarta : Gajah Mada University Press
Syaifuddin. 1997. Anatomi
Fisiologi. ECG.
Thenawijaya, M. 1995. Uji Biologi.
Erlangga: Jakarta.
Wulangi, K. 1979. Prinsip-Prinsip
Fisiologi Hewan. Jakarta : Erlangga
Wulangi, kartolo. 1993. Prinsip-prinsip
Fisiologi Hewan. Erlangga. Bandung
Yatim, W. 1982. Biologi Modern.
Tarsito: Bandung.